oleh I’anatul Khasanah
Peribahasa jawa mengatakan “buah jatuh tidak jauh dari pohonnya” artinya perilaku seorang anak umumnya tidak akan jauh berbeda dari perilaku orang tuanya. Singkat cerita, orang tua yang baik biasanya akan melahirkan anak yang baik pula dan sebaliknya, anak yang durhaka biasanya lahir dari orang tua yang durhaka pula.
Sejarah telah menceritakan bahwa orang tua salih yang juga memiliki anak-anak salih. Sebut saja, Nabi Ibrahim yang memiliki putra Nabi Ismail dan Nabi Ishak, Nabi Ya’kub memiliki putra Nabi Yusuf, Nabi Daud memiliki putra Nabi Sulaiman dan Nabi Zakaria memiliki putra Nabi Yahya.
Namun peribahasa yang lama sudah menjadi paten teryata belum mutlak kebenarannya. Kenyataannya bisa saja “buah jatuh, jauh dari pohonnya” dan itu memang nyata adanya. Simak saja kisah Qabil putra Adam. Seorang ayah salih, utusan Allah, dan mendapat gelar nabi teryata putranya Qabil malah menjadi anak pertama dan menjadi sejarah bagi pembunuh adiknya sendiri yakni Habil. Simak pula kisah nabi Nuh yang putranya Kan’an juga tidak beriman seperti ayahnya.
Berbeda halnya dengan cerita nabi Ibrahim. Bagaimana ia diangkat menjadi orang yang salih dan dimulyakan menjadi nabi, namun sangat kesulitan untuk menjadikan orang tuanya sebagai orang yang beriman. Beda Ibrahim, beda pula Musa. Ia kesulitan untuk mengimankan ayah angkatnya sendiri.
Cerita dan sejarah di atas bisa menjadi gambaran bahwa iman bukan warisan atau diturunkan sekalipun orang tuanya bertaqwa. Faktor orang tua sendiri, lingkungan, dan pergaulan bisa saja menjadikan anak bisa berbeda dari sifat orang tua. Atau bisa saja usaha keras anak yang menjadikan dirinya salih. Hal inilah yang harus menjadi perhatian orang tua bahwa Iman bukan diwariskan, akan tetapi dibentuk dan terbentuk oleh akal manusia itu sendiri.
Firman Allah sebagai penjelas dan penguat bahwa iaman bukanlah warisan, sekalipun dari orang tua yang bertaqwa.
“Allah membuat isteri Nuh dan isteri Lut perumpamaan bagi orang-orang kafir. Keduanya berada di bawah pengawasan dua orang hamba yang salih di antara hamba-hamba Kami; lalu kedua isteri itu berkhianat kepada kedua suaminya, maka kedua suaminya itu tiada dapat membantu mereka sedikit pun dari (seksa) Allah; dan dikatakan (kepada keduanya); “Masuklah ke neraka bersama orang-orang yang masuk (neraka)”. (Surah at-Tahriim : 10)
Dan Allah membuat isteri Firaun perumpamaan bagi orang-orang yang beriman, ketika ia berkata: “Ya Tuhanku, bangunlah untukku sebuah rumah di sisi-Mu dalam surga dan selamatkanlah aku dari Firaun dan perbuatannya dan selamatkanlah aku dari kaum yang zalim.” (Surah at-Tahriim : 11)
Manusia harus yakin bahwa keimanan merupakan hidayah dari Allah semata, bukan warisan dari orang tua apalagi nenek moyang. Manusia berkewajiban untuk terus berusaha dan berdoa, agar menjadi pribadi beriman dan tetap teguh menjaga keimanannya. Menjadi teladan dan sekaligus mampu melahirkan generasi yang beriman kepada Allah Swt.