Oleh: Ma’rifata Mina Mokka
Anak adalah bagian dari masyarakat sebagai pemegang tongkat estafet bangsa dari para generasi pendahulunya. Merekalah yang kelak akan memimpin bangsa Indonesia. Untuk menyiapkan generasi bangsa yang unggul, kuat, dan berkarakter, pendidikan yang tepat adalah salah satu cara untuk merealisasikannya. Tentu pendidikan formal sangatlah penting untuk bersaing dengan dunia global. Akan tetapi, pendidikan nonformal berupa pendidikan karakter sejak dini justru menjadi peran utama dalam mewujudkan generasi bangsa yang unggul dan berkarakter kuat.
Pendidikan karakter dapat terwujud jika diajarkan semenjak usia dini. Pendidikan karakter dapat berupa pembiasaan untuk melakukan dan menanamkan nilai-nilai yang terkandung dalam karakter-karakter yang diajarkan. Tempat terbaik menanamkan karakter semenjak usia dini adalah keluarga di rumah. Tentu setiap orang tua memiliki pola asuh dan nilai-nilai yang berbeda dalam mendidik anak-anaknya. Ada orang tua yang dengan penuh kelembutan tanpa pernah meninggikan nada bicaranya saat menegur sang anak saat melakukan kesalahan. Namun ada pula pasangan orang tua yang sedikit keras dalam mendisiplinkan anak-anaknya.
Keberagaman cara pola asuh orang tua ini tidak sedikit menimbulkan konflik dalam masyarakat. Baik dalam urusan duniawi maupun urusan akhirat. Bahkan tak sedikit pasangan orang tua yang masih memiliki perbedaan pendapat dalam mengasuh dan mendidik putra-putrinya. Perbedaan sudut pandang dan nilai-nilai yang dianut seorang anak dalan menghadapi suatu konflik tentulah bergantung bagaimana karakter yang terbentuk dalam keluarga. Ada sebagian keluarga yang memilih menanamkan suatu karakter dengan cara melakukannya secara bersama-sama. Contohnya ada keluarga yang memilih membawa anaknya yang masih berusia di bawah 5 tahun ke masjid untuk menanamkan kecintaan sang anak terhadap Allah dan Rasulullah. Membiasakan anak untuk familiar dengan simbol tempat ibadah agamanya, mengenalkan pada Allah dan meneladani akhlaqul karimah dari Rasulullah. Meskipun tujuannya bagus, tak sedikit pula ada orang yang merasa terganggu ketika ada anak-anak yang berlarian, menaiki punggung ayah atau ibunya ketika mereka sholat, berteriak atau bahkan menangis saat mereka tengah sholat di masjid. Keributan ini dirasa mengganggu kekhusyukan ibadah jamaah lain. Sedangkan ada keluarga lain lebih memilih memperkenalkan agama dengan cara lain, seperti melalui berbagai media pendukung seperti gambar, buku cerita, video dan lainnya. Kedua cara ini tetaplah harus menjadi hal yang menyenangkan bagi anak dan mereka tidak kehilangan waktu bermain. Seperti pendapat dari Ki Hajar Dewantara, bahwa “Bermain adalah tuntutan jiwa anak untuk menuju ke arah kemajuan hidup jasmani maupun rohani.“ Berdasarkan pendapat tersebut, memang kodrat seorang anak untuk bermain, sebagai orang dewasa kita tidak boleh menghakimi dan melabeli anak yang sering dan asyik bermain sebagai anak nakal, karena bermain adalah dunia anak-anak. Melarang anak-anak untuk bermain sama saja seperti melawan kodrat dari Ilahi. Dengan mendampingi anak menikmati masa bermain mereka, kebutuhan akan cinta akan terpenuhi dan penanaman karakter akan lebih mudah tersampaikan, sehingga tak akan ada lagi seorang dewasa yang mendapat julukan ‘masa kecil kurang bahagia”.