Oleh : Zumrotin Firdaus
(SMP Muhammadiyah Plus Salatiga)

Indonesia merupakan negara dengan kondisi geografis berupa pulau-pulau yang rawan bencana. Saat bencana terjadi, banyak penduduk yang mengungsi dan sebagian di antaranya populasi yang sangat terdampak, namun yang jarang dibahas secara khusus adalah anak-anak.
Biasanya, masyarakat berpendapat bahwa anak adalah prioritas, begitu juga dengan masa depannya. Di saat normal (bukan bencana) saja janji bahwa anak adalah prioritas cukup sulit bila diterapkan. Pada waktu bencana, hak dan kebutuhan spesifik anak sering kali hanya menjadi sesuatu yang manis hanya di bibir saja tanpa diiringi anggaran bantuan dan sumber daya. Tempat pengungsian akan dialami dengan sangat berbedaa oleh anak dibanding dengan orang dewasa. Dari mulai ketidaknyamanan anak yang terpaksa makan dan minum seadanya, mengenakan pakaian dengan ukuran berbeda, hingga tidur dengan alas karpet tipis seadanya. Hal tersebut mungkin dirasa biasa bagi orang dewasa sehingga menyamaratakan dengan perasaan anak.
Lebih mengerikan lagi bagi anak yang kehilangan orang tuanya karena bencana. Seperti yang penulis alami ketika menjadi relawan bencana di berbagai daerah dalam kurun waktu 2016-2019 saat menjabat sebagai ketua bidang sosial pemberdayaan masyarakat IMM Bluesavant dan IMM Koorkom UMSurabaya, penulis bertemu banyak sekali anak terlantar di pengungsian. Kesepian dan tidak bisa membicarakan apa yang dirasakan, tidak ada kesempatan bermain dan kekurangan dukungan teman. Semua adalah masalah nyata dan besar bagi anak yang tidak bisa dipandang sebelah mata karena hal tersebut sangat memengaruhi kondisi mental anak di masa depan.
Ketika menjadi relawan, bantuan yang diberikan tidak cukup hanya logistik dan pakaian saja, tetapi hak atas pendidikan juga bagian yang tidak boleh dipisahkan dari penanganan. Anak yang tidak bisa bersekolah seperti semula, bukan hanya berarti ketinggalan pelajaran, tetapi juga berarti kehilangan aktivitas terpenting dalam kehidupan.
Sayangnya, pendidikan adalah bidang yang kerap menjadi sasaran terhadap krisis apapun. Sekolah di tempat bencana pun sering kali menjadi tempat pengungsian dalam waktu yang lama. Sebagai catatan tambahan, berbagai resiko terkait dampak bencana pada pendidikan dan anak lebih banyak terjadi pada perempuan karena tingginya ketakutan untuk melihat keberangkatan mereka ke sekolah tanpa pengawasan. Selain itu juga kemungkinan pada tindakan pelecehan seksual di tempat pengungsian juga tidak bisa dikesampingkan. Maka, mari kita bersama-sama menjaga dan melindungi anak-anak dan perempuan, khususnya pada saat bencana terjadi karena anak adalah generasi emas penerus bangsa.