Oleh : Tugini
Guru Fisika SMA Muhammadiyah (Plus) Salatiga

Setiap anak terlahir dalam keadaan fitrah. Dalam bahasa Arab, fitrah dapat diartikan “membuka atau menguak” dan dapat dimaknakan sebagai asal kejadian manusia, keadaan yang suci, atau kembali ke asal. Lain halnya menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kata “fitrah” diartikan sebagai sifat asli, bakat, pembawaan perasaan keagamaan. Fitrah adalah apa yang menjadi kejadian atau bawaan manusia sejak lahir. Pengertian fitrah secara sistematik berhubungan dengan hal penciptaan (bawaan) sesuatu sebagai bagian dari potensi yang dimiliki.
Seorang anak terlahir dengan potensi besar berupa fitrah dan takdir peran yang telah Allah tetapkan dan amanahkan untuk dididik. Fitrah adalah benih, menumbuhkan fitrah artinya menumbuhkan benih-benih kebaikan yang dibawa seorang anak sejak lahir ke dunia. Sebuah penelitian menyebutkan bahwa perkembangan manusia dipengaruhi oleh faktor dalam dan luar dirinya. Faktor dari dalam adalah semua potensi yang dibawa individu sejak lahir, sedangkan faktor dari luar adalah segala sesuatu yang bisa mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan manusia yang bukan bawaan lahir.
Allah Subhanahu wata’ala menciptakan makhluk-Nya bukan tanpa maksud. Setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah. Dalam sebuah hadist, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam pernah menyampaikan bahwa tidak ada satu pun manusia yang dilahirkan kecuali dilahirkan atas fitrahnya. Orang tuanyalah yang akan menentukan, merawat fitrah ini atau mengubahnya. Menurut Ibnu Taimiyah, fitrah itu dilahirkan dan ditumbuhkan. Fitrah itu ibarat benih, apabila dirawat dengan sungguh-sungguh maka akan menjadi pohon kehidupan yang baik. Pertanyaannya, bagaimana cara merawat dan menumbuhkan fitrah tersebut?
Seorang anak yang dilahirkan dari rahim ibu, di dalam otaknya sudah ter-install aplikasi luar biasa yang kapasitas serta kecanggihannya melebihi komputer seri terbaru sekalipun. Setiap anak memiliki potensi yang jika digali dengan baik, kelak mereka akan mampu menemukan peran terbaiknya di dalam kehidupan. Namun, banyak orang tua yang masih abai tentang potensi ini. Di dunia pendidikan pun masih banyak yang belum mampu memunculkan potensi anak, sehingga mereka dapat berkembang sesuai dengan maksud penciptaannya.
Seorang praktisi pendidikan anak dengan metode fitrah based education, Ustadz Harry Santosa membagi aspek fitrah penciptaan atas manusia menjadi delapan. Delapan aspek fitrah tersebut adalah: (1) fitrah keimanan; (2) fitrah bakat; (3) fitrah belajar dan bernalar; (4) fitrah perkembangan; (5) fitrah seksualitas dan cinta; (6) fitrah individual dan sosial; (7) fitrah estetika dan bahasa; serta (8) fitrah fisik dan indera. Dalam praktiknya tugas orang tua sebenarnya cukup sederhana namun tidak mudah. Sederhana karena para ayah dan ibu hanya perlu menjaga fitrah anak, membiarkan mereka tumbuh dengan fitrah yang sudah Allah install ke dalam diri anak dari sebelum mereka lahir, tidak mudah karena konsistensi orang tua diuji untuk menerapkan pendidikan berbasis fitrah ini. Pada masa pertumbuhan awal, fitrah yang perlu dirawat dan ditumbuhkan pada anak adalah fitrah keimanan. Namun, orang tua sering merasa kebingungan bagaimana mengemas pendidikan keimanan agar mudah diterima oleh anak.
Saat ini manusia sudah hidup di era disrupsi, yaitu suatu era yang penuh dengan inovasi teknologi, perubahan yang cepat, dan produk teknologi yang berkembang pesat dalam upaya untuk mempercepat pemenuhan kebutuhan manusia. Namun, apakah dengan segala kecanggihan yang ada saat ini bisa menjadikan manusia lebih bahagia? Faktanya tidak demikian, sebuah penelitian menyebutkan bahwa penggunaan teknologi secara kuat dan cepat justru membuat manusia mengalami kelelahan, stres, dan depresi justru saat usia mereka masih muda belia. Lantas apa yang menyebabkan bisa terjadi demikian, apakah inovasi teknologinya atau manusia pengguna teknologi tersebut? Setelah ditelusuri, ternyata penyebabnya adalah pada manusia pengguna teknologi yang tidak sesuai dengan fitrah mereka. Penggunaan teknologi yang membuat stres, bisa jadi disebabkan karena tidak selarasnya fungsi teknologi dengan 8 aspek fitrah manusia sebagai pengguna. Hal ini merupakan salah satu sebab terjadinya pertentangan pada diri manusia dengan lingkungannya.
Satu-satunya cara untuk menghadapi era percepatan yang sedemikian melesat, umat Islam di penjuru dunia sudah seharusnya mampu mengikuti perkembangan ini dengan baik. Tentunya dengan tetap mengedepankan keyakinan bahwa semua produk teknologi yang diciptakan manusia hanya sebagai sarana untuk ibadah dan meraih ridho-Nya. Umat Islam harus mampu menggunakan produk teknologi dengan bijaksana serta menjadikannya sebagai sarana untuk tetap menjalankan peran terbaiknya sebagai khalifah di muka bumi tanpa merusaknya. Peran terbaik ini hanya bisa diraih jika para orang tua mampu menjalankan peran keayah-ibuannya dengan baik dalam rangka menyemai dan menumbuhkan benih-benih kebaikan yang sudah ter-install baik dalam diri anak-anak mereka sejak lahir.
Menumbuhkan fitrah anak adalah keniscayaan, yang tidak bisa ditawar lagi. Sebagai umat Islam, teladan terbaik dalam mempersiapkan generasi terbaik yang mampu bertahan pada derasnya arus globalisasi adalah tetap berpegang teguh pada Al-Qur’an dan Sunah. Banyak kisah-kisah teladan pengasuhan anak yang bisa dijadikan contoh, yang paling utama adalah menanamkan dan memastikan tumbuh dan tersemainya fitrah keimanan di dalam diri anak. Selanjutnya fitrah-fitrah lain akan mengikuti, jika anak diberi teladan dan contoh yang baik maka akan mudah bagi mereka menerima dengan baik pula. Lembaga-lembaga pendidikan Islam sudah harus mulai berbenah, untuk menghadapi era globalisasi dalam rangka mempersiapkan generasi tangguh yang kelak akan menjadi pelaku peradaban dan meraih kembali kejayaan Islam di masa yang akan datang.
Wallahu alam bis-shawab.