Hasil Evaluasi Pembelajaran Jarak Jauh, Validkah?

Oleh : Ma’rifata Mina Mokka
Guru SMA Muhammadiyah Plus

Sehubungan dengan jumlah kasus penderita Covid-19 di Indonesia yang tak kunjung turun, menjadikan pembelajaran jarak jauh (PJJ) di seluruh daerah kembali diperpanjang. Guru, siswa, dan orang tua telah dipaksa untuk terbiasa dengan pembelajaran jarak jauh selama hampir tujuh bulan. Mau tidak mau guru, siswa, dan orang tua menjalani pembelajaran jarak jauh meski dengan segala keterbatasan. Mulai dari keterbatasan kepemilikan gawai, akses internet, keterbatasan guru dan orang tua dalam teknologi, dan berbagai keterbatasan teknik lainnya.

Tidak hanya keterbatasan teknik yang menjadi kendala dalam pembelajaran jarak jauh. Kendala lain terletak pada daya tangkap siswa. Dalam pembelajaran tatap muka pun, sering didapati ada siswa yang memerlukan perhatian lebih dari siswa lainnya dalam menyerap materi. Tentu hal ini tidak akan menjadi masalah jika siswa tersebut mendapat dukungan orang tua dan mendapat pendampingan belajar yang baik di rumah, baik dari orang tua atau mungkin dengan bantuan bimbingan belajar. Namun, akan lain cerita jika seorang siswa yang memiliki daya tangkap yang kurang dari kebanyakan dan tidak mendapatkan pendampingan yang maksimal dari orang tua.
Terlebih kebanyakan siswa dan orang tua hanya berfokus pada hasil, tanpa mempertimbangkan proses pembelajaran.

Evaluasi pembelajaran berupa tes, umumnya masih menjadi hal yang penting di sistem pendidikan di Indonesia. Tes masih dianggap menjadi jalan paling akurat untuk mengukur kemampuan siswa dalam penguasaan materi. Alhasil orientasi pada hasil menjadi pilihan bagi sebagian siswa dan orang tua. Tak sedikit dari orang tua siswa di jenjang sekolah dasar dan menengah pertama yang kemudian membantu mengerjakan tugas atau pun tes yang harus diikuti sang anak selama pembelajaran jarak jauh. Sedangkan siswa jenjang menengah atas atau bahkan mahasiswa yang berorientasi pada hasil kemudian memilih untuk melakukan kecurangan dengan bekerja sama dengan teman atau mencari jawaban melalui bantuan internet. Kejujuran dalam mengerjakan tugas dan tes yang diberikan guru menjadi sulit untuk dibuktikan. Maka apakah hasil evaluasi pembelajaran jarak jauh menjadi valid untuk dijadikan acuan dalam mengukur kemampuan siswa dalam menguasai sebuah materi?

Pola pikir siswa dan orang tua bahwa yang terpenting adalah hasil dan mengesampingkan kejujuranlah yang menjadikan hasil evaluasi pembelajaran menjadi tidak valid. Seharusnya orang tua sebagai partner guru dalam mendampingi proses belajar anak dapat menanamkan betapa pentingnya kedisiplinan, kejujuran, dan tanggung jawab siswa dalam tahapan proses pembelajaran maupun dalam tahapan evaluasi pembelajaran. Jika karakter tersebut telah tertanam pada anak dan orang tua menyadari betul akan hal itu, maka meski evaluasi dilakukan secara online dan tanpa diawasi guru seperti saat tatap muka, siswa akan mengerjakan dengan jujur dan penuh tanggung jawab. Penanaman karakter seperti ini masih menjadi PR (pekerjaan rumah) bagi dunia pendidikan dan terlebih bagi orang tua sebagai sekolah pertama anak. Kegagapan dunia pendidikan di Indonesia dalam menghadapi pandemi pun juga menjadi faktor dari sulitnya pelaksanaan pembelajaran jarak jauh. Butuh kerja sama yang baik dari pihak pemerintah, sekolah maupun orang tua demi terlaksananya pembelajaran jarak jauh, sehingga siswa tetap mendapatkan haknya untuk mengenyam pendidikan di tengah masa pandemi ini.