BERAMAL SESUAI KEMAMPUAN

Oleh Fatchurrohman

Dari Aisyah r.a, dia berkata : Nabi SAW pernah ditanya : Amal apa yang paling dicintai Allah? Maka beliau menjawab : yaitu amal yang kontinyu meskipun hanya sedikit. Beliau juga bersabda: bebanilah diri kalian dengan amal-amal yang mampu untuk kalian kerjakan (HR. Bukhari).
Dari potongan hadits di atas, kita bisa belajar dua hal:
Pertama, Allah menyukai amalan yang rutin, kontinyu, istiqamah, dan sustainabel, bukan yang panas-panas tahi ayam (=kata pepatah). Amalan baik yang dilakukan secara rutin, kontinyu akan masuk dalam alam bawah sadar, dan akan menjadi akhlaq seseorang. Akhlaq menuntut seseorang berperilaku baik dengan di luar kesadaran, tanpa pikir panjang.
Keajegan juga dapat menunjukkan tingkat keihlasan seorang dalam melakukan suatu perbuatan. Jika amal dilakukan dengan ihlas hanya karena Allah dan bukan karena pamrih orang lain, biasanya akan bertahan lama. Amalan yang mandeg, terkadang terjadi karena hilangnya pengaruh kepentingan manusiawi disamping faktor dari dalam diri juga. Seseorang yang mampu melaksanakan kebaikan secara rutin menunjukkan bahwa dia telah istiqamah dalam ber-Islam. Sementara itu, dari sudut psikologis, melakukan aktivitas secara rutin akan membentuk jaringan sel saraf baru yang akan mempertahankan rutinitas yang dilakukan. Kalau kita rutin melakukan kebaikan, maka akan semakin luas jaringn saraf yang terbentuk pada diri kita dan akan semakin memperkuat mempertahankan kontinyuitas amal baik tersebut. Demikian juga sebaliknya.
Dalam melakukan rutinitas kebaikan, disebutkan “walau sedikit” agar umat tidak keberatan melakukannya, kalau sedikit pasti semua orang mampu melakukannya. Namun sebenarnya, ada tersirat pesan, “..tentunya kalau banyak lebih baik…”. Beramal sedikit membuat seseorang mudah untuk bersikap ihlas melakukannya. Namun ukuran “sedikit” juga relatif bagi setiap orang. Sedikit bukan berarti lawan kata banyak, tetapi sedikit di sini berarti menurut ukuran kemampuan orang yang bersangkutan. Lima ratus juta bisa dikatakan sedikit bagi para milyarder. Beramal sedikit dapat “menghindarkan diri” dari sifat riya, sum’ah.
Kedua, hadits di atas mengajak kepada kita untuk hidup secara proporsional. Nabi menganjurkan, agar kita melakukan segala sesuatu sesuai dengan kemampuan. Banyak orang mengalami stress, depresi dan bahkan gangguan jiwa dalam mengarungi kehidupan ini, karena dia tidak menggunakan standar proporsional pada dirinya. Dia cenderung menggunakan standar orang lain, baik dalam berpikir, mencari rizqi, mengejar posisi dan atribut kehidupan lainnya, sehingga ia tidak pernah menjadi dirinya sendiri. Perilaku demikian tidak ada bedanya dengan menganiaya diri dan tidak menghargai diri sendiri. Apapun yang akan kita lakukan sebaiknya mempertimbangkan kemampuan kita, baik fisik, pikir, finansial emosi, dan sosial. Islam mempersilakan kepada umatnya untuk melaksanakan ajarannya sesuai dengan kemampuan. Kita sebaiknya tidak perlu sibuk mengukur kapasitas orang lain, tetapi ukurlah kapasitas diri sendiri dan jadikan itu sebagai starting point untuk melangkah. Sekiranya mengukur kemampuan orang lain berguna untuk memotivasi diri, cara demikian harus dipahami dalam konteks berfastabiqul khairat. Sebaliknya, kita juga jangan pernah memaksakan orang lain untuk melakukan sesuatu seperti apa yang kita pikirkan. Kita juga harus berpikir proporsional atas orang lain, biarlah mereka melakukan sesuatu sesuai dengan kemampuan dan keadaan yang melingkupinya. (Wallahu a’lam)