Penguatan Pendidikan Karakter Religius (antara kenyataan atau jarkoni)

Oleh: Marwanto

Gerakan Penguatan Pendidikan Karakter (PPK) yang dicanangkan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (2017) mengidentifikasi 5 (lima) nilai utama karakter yang saling berkaitan membentuk jejaring nilai yang perlu dikembangkan sebagai prioritas, yaitu religius, nasionalis, mandiri, gotong royong, dan integritas.

Sekolah dari jenjang pendidikan dasar sampai perguruan tinggi diharuskan untuk membentuk karakter setiap siswanya. Siswa dituntut memahami baik dan mampu melaksanakan karakter dengan baik sampai ke perilaku. Ini yang sering terjadi di sekolah. Semua pendidik menanamkan pendidikan ini kepada seluruh siswanya.
Bagaimana kenyataanya?

Apakah Penguatan Pendidikan Karakter mampu diserap dan dipahami oleh siswa untuk dilaksanakan dalam kehidupan sehar-hari. Lalu bagaimana dengan para pendidik. Apakah mereka juga sudah melaksanakan semua yang disampaikan dan diajarkan kepada siswanya. Jangan-jangan hanya seperti pepatah jawa yaitu “Jarkoni” (iso ngajar, ning ora iso nglakoni). Mari direnungkan dan bila perlu evaluasi diri masing-masing.

Karakter Religius adalah sikap dan perilaku yang patuh dalam melaksanakan ajaran agama yang dianutnya sehingga memiliki sifat yang toleran serta hidup rukun dengan antar pemeluk agama. Ada dua kata yang bisa digaris bawahi dalam karakter ini yaitu patuh dan toleran (rukun).

Para pendidik dengan semangat mengajarkan hal ini kepada siswanya. Siswa dengan senang hati melaksanakan, terutama siswa sekolah dasar. Termasuk harus rukun dengan temannya. Kadang bila siswa sampai saling bermusuhan akan ditegur dan diberikan sanksi. Kegigihan dan profesional sebagai pendidik tidak perlu dipertanyakan lagi. Setiap hari di sekolah sampai sore. Berangkat masih gelap, pulang ke rumah juga sudah gelap kembali.

Maka, yang perlu direnungkan adalah karakter ini jangan sampai hanya sampai dimulut saja. Namun harus diresapi dengan benar dan dilaksankan dengan baik. Sebagai peningkatan ibadah dan juga perbaikan diri sendiri tentunya.

Lalu bagaimana. Apakah para pendidik yang mulai tersebut sudah melaksanakan yang diajarkan atau belum. Ini yang perlu direnungkan. Karena yang bisa menjawab adalah mereka sendiri. Seperti halnya beribadah pada waktunya, pelaksanaan ibadah seperti yang dilakukan oleh siswanya, dan saling rukun dengan sesama pendidik, dan hal lain yang mencerminkan karakter religius seperti yang sudah diajarkan.

Jangan-jangan hanya “Jarkoni”. Siswanya tertib Salat jamaah, dhuha di masjid. Para pendidiknya hanya menonton dan menjadi patung yang mengawasi siswanya, tanpa ada gerakan.

Hidup rukun sesama pendidik. Ini menjadi idaman bagi semua pendidik dan bisa saling bekerjasama. Tidak saling tuding dan memusuhi satu dengan yang lain, apalagi hanya persoalan sepele menjadikan sesama pendidik tidak tegur sapa. Ini tentu sangat disayangkan. Semua harus menjaga keutuhan bersama, tidak pilih kasih (gep-gepan) sesama pendidik. Maka, seorang pimpinan sangat berperan di sini. Menjadi contoh dan tauladan yang baik bagi bawahannya. Bila ada yang demikian dalam komunitasnya, maka harus segera diluruskan. Demi kemajuan bersama tentu saja.
Hal ini bisa menjadi evaluasi diri bagi siapa pun tentunya. Semoga bermanfaat.