Memaknai Saka Tatal Sunan Kalijaga

Oleh: Muttaqin (ketua Pemuda Muhammadiyah dan Guru SMP Muhammadiayah Plus Salatiga)

Umat Islam di Indonesia khususnya Pulau Jawa sangat banyak menyuguhkan cerita yang kaya makna. Anak yang lahir era delapan puluhan dan berada di desa kebanyakan diasupi berbagai kisah kehebatan pendawah Islam Tanah Jawa yaitu Wali Sanga. Mubaligh pada masa akhir kekuasaan Majapahit ini sangat ampuh dalam berbagai bidang baik seni, politik, arsitektur dan juga perdagangan. Kemahiran yang dimiliki Wali Sanga ini yang membuat jatuh hati para penduduk negeri baik raja maupun rakyat jelata.

Penyiar agama zaman itu menggunakan motivasi nuntun wong kang wuta, mayungi wong kang kudanan, nyapingi wong kang kepanasan, dan juga menehi pangan wong kang kaluwen. Filosofi seperti ini dapat dijadikan pelajaran untuk umat Islam zaman teknologi four poin zero. Islam sebagai rahmatan li’alamin sangat penting dihadirkan sehingga umat merasa tercerahkan, terayomi dan tercukupi. Pada masa keemasan Wali Sanga terdapat kisah turun-temurun yang sampai saat ini diantaranya adalah pembangunan Masjid Agung Demak. Dalam kisah tersebut ada penugasan kepada wali untuk membuat saka (tiang penyangga masjid). Setelah tiang terkumpul ternyata masih ada satu yang belum membuat yaitu Sunan Kalijaga (Raden Mas Said). Wali yang satu ini selain ahli seni juga mahir dalam membuat tiang, maka dalam waktu yang tidak lama dibuatnya saka dari tatal (sisa potongan atau irisan-irisan kayu).

Saka tatal ini jika dicermati dari sisi makna, maka sangat cocok untuk generasi zaman now dalam pengembangan dakwah Islam sehingga dapat menjadi sebab kokoh dan maju. Perlu diurai bahwa tatal adalah potongan atau irisan kayu yang sudah menjadi berbeda bentuk dan ukurannya namun dengan ilmu dan pengetahuan Sunan Kalijaga menjadi sebuah pilar yang penting untuk meninggikan bangunan masjid. Hal ini memberi inspirasi kepada umat penerus dakwah Islam bahwa wawasan menjadi penting dalam menyatukan perbedaan. Para da’i harus mempunyai pandangan yang dapat membudidayakan yang lemah sehingga menjadi kuat.

Para tokoh agama Islam harus berpikir bagaimana menyatukan yang berserakan seperti tatal di mana awalnya cuma digunakan hurup-hurup (bakar-bakar) kemudian menjadi barang mewah dan berharga. Pada dekade saat ini mungkin umat Islam sedang berperan sebagai hurup-hurup kelompok tertentu, sehingga kontribusinya tidak terlihat signifikan. Keadaan seperti ini menjadi perlu untuk menampilkan kecerdasan Sunan Kalijaga dalam membangun keumatan yang cerah dan unggul sehingga dapat membangun tempat sujud yang indah dan nyaman. Jika orang Islam bersatu padu dari berbagai elemen maka untuk sujud tidak mengalami kesulitan baik itu dalam bentuk ritual salat maupun yang lainya. Wa Allahu a’lam.