Terkenal di kalangan masyarakat adanya syi’iran atau puji-pujian yang banyak dihafal orang, yaitu: “Malem Jemuah para mayit tilik ngomah. Njaluk kiriman maca qur’an mung sak ayat. Yen ora dikirim mayit lunga tetangisan. Bali menyang kubur kanthi eluh dedleweran”. Jika dibahasakan Indonesia kurang lebih begini: “Tiap malam Jum’at para janazah itu menengok rumah. Minta dikirim bacaan al-Qur’an meskipun hanya satu ayat. Jika tidak dikirimi maka janazah tersebut pergi dengan menangis. Kembali ke kubur dengan air mata bercucuran.
Semoga yang menggubah syair ini tidak bermaksud lain kecuali untuk mengingatkan kepada yang masih hidup agar mau “mendo’akan” yang sudah wafat, sekaligus mendorong orang untuk mempersiapkan bekal alam akherat yang dimulai dengan alam kubur. Namun tidak semudah yang diharap, seringkali syair tersebut difahami secara tekstual. Bahwa orang yang sudah meninggal dunia itu bisa menengok tempat tinggalnya ketika di dunia, jalan-jalan ke sana kemari terutama ketika malam Jum’at. Para ahli kubur itu mengharapkan “kiriman” bacaan al-Qur’an, memberikan kesan bahwa pahala membaca al-Qur’an itu diberikan kepada yang sudah wafat. Transfer pahala dari yang masih hidup kepada yang sudah wafat kemudian menjadi sebuah pemahaman umum.
Marilah kita belajar bersama untuk memperoleh hidayah Allah swt. pada soal aqidah seperti itu. Kita tidak ingin menjawab hanya soal “mayit tilik ngomah” tetapi lebih pada kajian aqidah Islamiyah. Betapa amat pentingnya aqidah sebagai fondasi atau asas dalam beramal kebaikan (amal shalih). Dan informasi aqidah tidak bisa dibenarkan kecuali mengambil dari al-Qur’an atau Sunnah Rasulullah saw.
Berpijak pada hadis riwayat Anas ra, dia berkata: Aku pernah mendengar Rasulullah saw. bersabda: “Allah tabaroka wa ta’ala berfirman:

(TIRMIDZI – 3463) : “Wahai anak Adam, tidaklah engkau berdo’a kepada-Ku dan berharap kepada-Ku melainkan Aku ampuni dosa yang ada padamu dan Aku tidak perduli, wahai anak Adam seandainya dosa-dosamu telah mencapai setinggi langit kemudian engkau meminta ampun kepada-Ku niscaya Aku akan mengampunimu dan Aku tidak peduli. Wahai anak Adam, seandainya engkau datang kepada-Ku dengan membawa kesalahan sepenuh bumi kemudian engkau menemui-Ku dengan tidak mensekutukan sesuatu dengan-Ku niscaya Aku akan datang kepadamu dengan ampunan sepenuh bumi.” (Hadis Arba’in 42)
Hadis qudsi ini pernah saya sampaikan pada tulisan saya di MPK tanggal 8-07-2020 dalam kajian tentang luasnya ampunan Allah. Dalam Hadis qudsi di atas Allah swt. berfirman: “seandainya engkau datang kepada-Ku dengan membawa kesalahan sepenuh bumi kemudian engkau menemui-Ku dengan tidak mensekutukan sesuatu dengan-Ku niscaya Aku akan datang kepadamu dengan ampunan sepenuh bumi.”. Jadi untuk meraih ampunan Allah swt. disyaratkan tidak mensekutukan-Nya dalam segala hal. Sebaliknya, jika manusia itu mensekutukan Allah swt. misalnya dalam hal rububiyah-Nya maka seluruh amalnya menjadi sia-sia, amal kebaikan yang dilakukan tidak dinilai oleh Allah swt.
Syari’at Islam bisa dibedakan menjadi dua, yaitu i’tiqodiyah dan ‘amaliyah. I’tiqodiyah adalah hal-hal yang berhubungan dengan kepercayaan, disebut ashliyah (pokok agama). ‘Amaliyah adalah hal-hal yang berhubungan dengan tatacara amal, seperti shalat, zakat, puasa, dan seluruh hukum-hukum amaliyah. Bagian ini disebut far’iyah (cabang). ‘Amaliyah dibangun di atas i’tiqodiyah. Benar dan atau rusaknya ‘amaliyah tergantung pada benar atau rusaknya i’tiqodiyah. Maka ‘aqidah yang benar merupakan dasar agama serta merupakan syarat sahnya amal. Tema utama ‘aqidah Islam adalah iman kepada Allah swt. yang esensinya adalah tauhid, yaitu meng-Esakan Allah subhanahu wata’ala. Allah berfirman:

Qul in-namaa ana basyarun mits-lukum yuu-haa ilai-ya an-namaa ilaa-hukum ilaa-huw waa-hid. Faman kaa-na yar-juu liqoo-‘a robbihi fal ya’-mal ‘amalan shoo-lihan walaa yusy-rik bi ‘ibaa-dati robbihi ahada (al-Kahfi 110).
Terjemah: Katakanlah “Sesungguhnya aku ini manusia biasa seperti kamu, yang diwahyukan kepadaku, bahwa sesungguhnya Tuhan kamu itu adalah Tuhan yang Esa”. Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya, maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan sesuatu-pun dalam beribadat kepada Tuhannya.
Mengesakan Allah swt. dalam beribadah juga ditegaskan dalam surat az-Zumar ayat 2 dan 3 berikut:

In-naa an-zalnaa ilaikal kitaa-ba bil haq-qi fa’-budillaha mukh-lishol lahud diin. A-laa lilla-hid dii-nul khoo-lish (az-Zumar 2-3).
Terjemah: Sesunguhnya Kami menurunkan kepadamu Kitab (Al-Quran) dengan (membawa) kebenaran. Maka sembahlah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya. (3). Ingatlah, hanya kepunyaan Allah-lah agama yang bersih (dari syirik)….
Kemudian dalam surat az-Zumar ayat 65 dinyatakan perbuatan syirik atau mempersekutukan Allah swt. itu akan menghapus amal kebaikan, amalnya tidak bermakna bagi yang melakukannya. Renungkan ayat berikut:

Wa laqod uu-hiya ilaika wa ilal la-dzii-na min qob-lika la-in asy-rokta layah-bathon-na ‘a-maluka wa latakuu-nan-na minal khoo-siriin (az-Zumar 65).
Terjemahnya: Dan sesungguhnya telah diwahyukan kepadamu dan kepada (nabi-nabi) yang sebelummu, “Jika kamu mempersekutukan (Tuhan), niscaya akan hapuslah amalmu dan tentulah kamu termasuk orang-orang yang merugi.”
Jadi, mendasarkan ayat-ayat di atas (dan yang senada) kita memperoleh pelajaran bahwa segala amal tidak diterima jika yang beramal tidak bersih dari syirik. Karena itulah perhatian nabi Muhammad saw. dalam menyampaikan risalah Islam yang pertama kali adalah pelurusan ‘aqidah. Dan hal pertama yang didakwahkan para rasul kepada umatnya adalah menyembah Allah semata dan meninggalkan segala yang dituhankan selain DIA (tauhid uluhiyah).
Allahu a’lam