
Oleh : Izzul Panca Aditya
Di Indonesia terjadi pembagian sistem penyelenggaran di mana terdapat dua instansi
atau kementerian yang mengatur penyelenggaraan pendidikan, yaitu pendidikan umum seperti
PAUD, TK, SD, SMP, SMA, SMK dan perguruan tinggi baik negeri maupun swasta berada di
bawah naungan Kementerian Pendidikan Riset dan Teknologi sedangkan pendidikan agama
mulai dari RA, MI, MTS, MA, SMK, Pondok Pesantren dan Perguruan Tinggi baik ma’arif
ataupun negeri dinaungi oleh Kementerian Agama. Dengan adanya dualisme sistem
penyelenggaraan pendidikan ini memunculkan masalah sosial di antaranya kecemburuan,
stigma masyarakat, hingga nasib kelulusan. Kecemburuan antara siswa atau mahasiswa yang
menempuh pendidikan di bawah naungan Kementerian Agama mulai dari fasilitas yang
berbeda dengan yag didapatkan oleh mereka yang menempuh pendidikan di bawah
Kementerian Pendidikan. Selain itu dari segi administrasi juga sedikit berbeda seperti
pemberian bantuan beasiswa, di mana yang terjadi di instansi pendidikan yang dibawah
Kemendikbud dana yang diberikan tidak mendapat potongan apapun dibandingkan dengan
yang ada di instansi pendidikan Kemenag bantuan yang diberikan kepada penerima terdapat
potongan mulai dari potongan UKT ataupun yang lain dengan alasan instansi tidak
mendapatkan dana dari pemerintah.
Munculya stigma dari masyarakat yang mengakar di mana menganggap siswa atau
mahasiswa yang menempuh pendidikan di instansi di bawah Kemenag adalah anak “buangan”
dari instansi di bawah Kemendikbud. Masalah lain yang mucul akibat dari dualisme
penyelenggaraan pendidikan ini nasib dari lulusan perguruan tnggi di bawah Kemenag, tak bisa
diungkiri dewasa ini persyaratan dalam mencari pekerjaan menjadi hal yang patut untuk
mendapat perhatian dari pemerintah, termasuk ketika lulusan dari perguruan tinggi keagamaan
ini mencari pekerjaan. Kriteria dan persyaratan yang membuat lulusan dari perguruan tinggi
keagamaan merasa ada diskriminasi di mana ketika mendaftar suatu pekerjaan, pertanyaan
klise pada masa sekarang bukan lagi soal nilai tetapi berasal dari lulusan mana. Banyak
perusahaan yang belum mengenal atau familiar dengan perguruan tinggi keagamaan seperti
UIN atau IAIN, tidak seperti perguruan tinggi negeri atau swasta di bawah naungan
Kemendikbud. Kemudian yang menjadi poin penting adalah ketika alasan diberlakukannya
dualisme penyelenggaraan pendidikan ini terkhusus pendidikan agama di bawah naungan
Kemenag dengan tujuan untuk menyerap tenaga kerja yang berasal dari lulusan perguran tinggi
keagamaan untuk bekerja di kantor-kantor di bawah naungan Kementerian Agama dirasa masih
belum terealisasi.
Menurut estimasi berdasarkan informasi dari artikel Kompas, persentase lulusan
universitas di bawah Kementerian Agama (Kemenag) yang bekerja di kantor-kantor Kemenag
sekitar 30%. Dibandingkan dengan penyerapan tenaga kerja dari perguruan tinggi atau sekolah
sekolah kedinasan yang berada di bawah kementerian lain seperti IPDN, Poltekip dan STAN
di mana berdasarkan data dari Kementerian Dalam Negeri, persentase lulusan IPDN yang
bekerja di instansi pemerintah mencapai sekitar 80%. Selain itu, persentase lulusan STAN yang
bekerja di Kementerian Keuangan dan lembaga terkait diperkirakan sekitar 70%, dan
persentase lulusan Poltekip yang bekerja di Kementerian Hukum dan HAM sekitar 60%.
Dengan demikian alasan tersebut bisa dibilang tidak sesuai dengan realita yang ada.
Alasan lain mengenai adanya dualisme penyelenggaran pendidikan di Indonesia ini
yaitu sebagai bentuk menghormati budaya dan sejarah. Jika mengacu pada sejarah yang ada di
mana pendidikan di Indonesia pada masa colonial hanya dapat ditempuh minimal oleh kaum
priyayi sehingga organisasi masyrakat memberikan pendidikan agama kepada kaum kaum
pribumi atau masyarakat kalangan bawah, maka apabila tetap diterapkan pada masa sekarang
alasan itu sudah tidak masuk akal, mengapa demikian? Sekarang di Indonesia ini tidak lagi
mengenal kasta priyayi ataupun pribumi artinya pendidikan adalah hak yang wajib untuk di
dapatkan oleh semua warga negara sesuai dengan UUD 1945 Pasal 28 C Ayat (1).
Sangat disayangkan ketika sektor yang seharusnya cukup satu kementerian yang
mengatur masalah pendidikan ini harus dibawahi oleh dua kementerian terlebih oleh
kementerian yang seharusnya tidak perlu mengaturnya. Dalam sistem peradilan di Indonesia
tidak ada penghkususan antara Pengadilan Agama, Pengadilan Tinggi, Pengadilan Negeri yang
di mana dapat dan tetap dianaungi oleh satu instansi yaitu Mahkamah Agung, dan tidak ada
pembedaan antara hukum islam dengan hukum nasional dan hukum Islam tetap berjalan tanpa
dinaungi oleh Kementerian Agama secara langsung. Artinya jika dengan kasus yang sama
mengapa penerapannya bisa berbeda antara penyelenggaran peradilan dan penyelenggarana
pendidikan di Indonesia. Dengan hal ini juga seakan ada anggapan bahwa Kementerian
Pendidikan tidak dapat mengatur kurikulum agama di sistem pendidikan di Indonesia
Sedikit berkaca ke negara-negara Islam seperti Arab Saudi, Mesir, Turki yang terkenal
dengan pendidikan Islam, sektor pendidikan tetap berada di bawah Kementerian Pendidikan
dan Kementerian Agama hanya berperan sebagai pengawas dan konsultan dalam
pengembangan kurikulum agama. Jika sistem penyelenggaraan di Indonesia mampu dan dapat
menerapkan penyelenggaraan yang hanya dinaungi oleh Kementerian Pendidikan bukan tidak
mungkin akan membuka peluang bagi lulusan yang berasal dari perguruan berbasis keagamaan
untuk mendapatkan nasib perlakuan yang sama dan menurunkan stigma masyarakat terhadap
lulusan sekolah-sekolah keagamaan.
Begitu kompleks masalah pendidikan yang ada di Indonesia mulai dari dualisme
penyelenggaraan sistem pendidikan hinga kebijakan-kebijakan yang terus berubah-ubah
seiring dengan peralihan pejabat menterei baik dari Kementerian Pendidikan dan Juga
Kementerian Agama yang menimbulkan korban non-fisik dari para peserta didik dan tenaga
kependidikan.